Rabu, 13 April 2011

Tulisan


KETIKA HUJAN LENYAPKAN SENJAKU DALAM DALAM

Sebelah mata ini masih tertinggal dalam sentuhan jemari penuh kehangatan. Buatku tak mampu berfokus pada kehendak hati ini. Seperti gemuruh angin yang tak menyibakkan rambut ini. Atau derai hujan yang tiada membasahi hati yang kian gersang. Ada segumpal ketakberdayaan di tenggorokan. Membuatku sulit katakan bahwa semua tak baik baik saja.
 Pahitnya begitu menyiksa pangkal lidah ketika hujan lenyapkan senjakku dalam dalam, lalu malam ini bertabur bintang, gemerlapan dan indah tiada terperi. Namun  jika kau fikir aku bahagia. Sebaiknya berfikirlah lagi jika sewaktu waktu kukatakan tersenyumpun aku tak sudi atas malam ini.
Udara malam berkata “mengapa tak ada keceriaan darimu atas karya tuhan malam ini”. Lalu hati ini bicara lirih sekali “bahagiaku hanya untuk senjaNya”.  Udara menjawab “tapi senjamu hujan, tidakkah lebih indah malam ini”. lalu lebih keras hati ini menjawab “ bukan senja yang hujan, namun hujan yang bawa pergi senjaku”.
Aku tak begitu mengerti tentang sebentuk rasa yang Tuhan anugrahi pada makhluk makhluk menyedihkan sepertiku yang tak bisa tersakiti sedikitpun. Begitu rapuh dan tak dapat berbenah diri pasca kehancuran yang teramat sangat. Seperti tertinggal pada dimensi kelabu, suram dan tak bergairah samasekali.
 ini takkan mewakili apapun atas apapun yang ingin kulakukan, aku lelah dengan rasa ini, memaksaku untuk berfikir atas hal yang tak ingin ku fikirkan. Sudah terlalu melekat kuat untuk lenyap dari pandangan mataku. Masih ada nyanyian pada hati yang mengerut dan carut marut ini, ya, sedikit menghibur namun tak sedikitpun mengubah keadaan. Justru keindahannya buatku larut dalam peristiwa tak berperikemanusiaan yang merusak semuanya.
Sekarang aku terpaku pada sudut sempit di hatiku bersama serpihan kisah lama yang tiada henti melukai. mendengar Suara derap langkah mendekat, begitu kukenal namun tak pernah benar benar hadir. Hingga lelah rasanya aku menarik nafas terpanjangku yang tiada pernah kurangi gundah ini.
Menagis dalam ruang tanpa cahaya. Terisak dalam airmata tanpa udara. Sesak, sepi, dan tak kunjung usai. Lalu terperanjat aku akan sebuah sentuhan yang bisikkan hati bahwa aku sedang mencinta apa yang tak seharusnya kucinta
-noviana pratiwi-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar